RuangSeni — Kemarin malam, tepatnya 23 Juni 2025 di Gedung Teater Tertutup Taman Budaya Provinsi Lampung menjadi saksi hadirnya sebuah pertunjukan yang tidak sekedar menari, tetapi menggali, menyentuh, dan mengguncang ruang batin penontonnya. Dalam gelaran Quadra: A Contemporary Encounter, karya tari berjudul Residu tampil sebagai salah satu penampilan yang membekas.
Karya ini lahir dari tangan lima koreografer muda: Vanny Rahmaniar, Salwa Alprianti, Agnes Neva Nathania Sejati, Tarissa Dwi Rahmadani, dan Dianti Ayu Astrinindya — mahasiswa Program Studi Seni Tari Angkatan 2022. Residu membawa penonton menyelami tubuh dan jiwa seseorang yang hidup bersama OCD (Obsessive Compulsive Disorder), di mana tatanan dan kekacauan berdampingan dalam ketegangan yang terus-menerus.
Pertunjukan dibuka secara tidak biasa: satu penari muncul dari tengah penonton dan mulai merapikan posisi tempat duduk mereka. Aksi tersebut segera memberi sinyal kepada penonton bahwa pertunjukan ini akan membawa mereka pada pengalaman yang personal dan psikologis. Penari kemudian naik ke atas panggung sambil menghitung tangga secara obsesif, menggambarkan perilaku kompulsif khas penderita Obsessive Compulsive Disorder (OCD). Panggung yang dipenuhi bola dan keranjang yang berserakan. Seperti naluri, ia mulai membersihkan dan menatanya — bukan hanya sebagai tugas, tetapi sebagai bentuk perlawanan terhadap kekacauan internal yang sulit dijinakkan.
Bayangan-bayangan pikirannya hadir dalam sosok penari lain yang mengikuti dari belakang. Mereka meniru, menggandakan, menumpuk gerak, membentuk fragmen-fragmen yang tak kasat mata namun terasa nyata. Semua bergerak dalam irama pengulangan yang rapat dan membebani. Mereka adalah wujud dari pikiran yang tak pernah selesai — residu yang tak kunjung luruh.
Pertunjukan ini diakhiri dengan bola-bola kecil jatuh, banyak, membanjiri ruang panggung. Panik. Tubuh tak lagi mampu mengendalikan. Dan dalam klimaks penuh getir, ia melepaskan. Membiarkan semuanya berserakan. Menerima bahwa tak semua bisa diatur, tak semua bisa dibersihkan.
Residu bukan sekedar pertunjukan tari, melainkan representasi visual atas pergulatan jiwa. Ia mengajak penonton melihat bahwa tak semua luka tampak di permukaan, bahwa tubuh bisa menjadi ruang simpanan dari segala yang tidak tuntas.
Sebuah karya yang berani, jujur, dan menyentuh — menjadikan malam itu tak hanya menyuguhkan pertunjukan, tetapi pengalaman.
(Yos)