Oleh: Putra Agung
RuangSeni – Penyandang disabilitas yang dalam percakapan sehari-hari disebut sebagai “orang cacat”, sering dianggap sebagai warga masyarakat yang tidak produktif, tidak mampu menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sehingga hak-haknya pun diabaikan.
Faktanya, penyandang disabilitas perempuan dan laki-laki dapat dan ingin menjadi anggota masyarakat yang produktif. Dalam negara-negara maju dan berkembang, mempromosikan masyarakat yang lebih inklusif dan peluang lapangan kerja yang lebih besar kepada para penyandang disabilitas membutuhkan akses yang lebih baik terhadap pendidikan dasar, pelatihan kejuruan yang sesuai dengan kebutuhan pasar kerja dan pekerjaan yang sesuai dengan keterampilan, minat dan kemampuan mereka dengan berbagai adaptasi yang diperlukan.
Berdasarkan data PUSDATIN dari Kementerian Sosial tahun 2010, jumlah penyandang disabilitas di Indonesia adalah 11,580,117 orang. Terdiri dari, 3,474,035(penyandang disabilitas penglihatan), 3,010,830 (penyandang disabilitas fisik), 2,547,626 (penyandang disabilitas pendengaran), 1,389,614 (penyandang disabiltias mental) dan 1,158,012 (penyandang disabilitas kronis).
Namun begitu, istilah “orang cacat” yang digunakan menjadi stigmatisasi karena kata “cacat” menggambarkan seseorang yang memakai “tanda kekurangan sempurnaan” sehingga 11 juta lebih para penyandang disabilitas kerap mengalami perundungan dan tak mendapatkan hak-hak yang semestinya seperti yang diglorifikasi dalam undang-undang.
Disisi lain, teater sebagai dunia yang kompleks dan nyaris tanpa tepi mampu menjadi wadah bagi penyandang disabilitas yang memiliki keterbatasan namun tetap bisa tetap berkarya. Tak hanya, pelibatan penyandang disabilitas dalam sebuah pertunjukan teater memiliki kesulitan sekaligus keunikan tersendiri. Salah satunya, penyandang disabilitas memiliki komunikasi yang “tak lazim” bagi orang kebanyakan sehingga berakting adalah kekuatan yang amat penting bagi penyandang disabilitas untuk menyampaikan pesannya dengan teknik, gerak, metode bahkan ekspresi tersendiri.
Pelibatan penyandang disabilitas juga mampu menjadi cara mereka untuk melatih mental dalam menghadapi kerumunan serta membangun keberanian dihadapan masyarakat umum. Tak hanya itu, pertunjukan teater dengan pelibatan penyandang disabilitas dapat menjadi cara efektif untuk menggedor kesadaran pemerintah untuk selalu menyertakan masyarakat disabilitas dalam berbagai sektor baik itu sektor pendidikan, pemerintahan, kesenian bahkan pemerintahan. Ini juga mampu menjadi trigger agar negara bisa hadir untuk memperhatikan kehidupan para penyandang disabilitas serta alih-alih sebatas formalistik maupun menjadi mereka sebagai jalan pintas memainkan anggaran semata.
RESPON GAGASAN
Pertunjukan teater penyandang disabilitas setidaknya akan memberikan kita jawaban terkait tiga hal. 1) Untuk mengetahui seberapa besar penghormatan dan kepekaan masyarakat terhadap pertunjukan seni yang dibawakan para penyandang disabilit
as. Kepekaan ini akan berimbas naik-turunnya kepedulian masyarakat untuk menerima, menyamaratakan hingga menghilangkan perundungan terhadap penyandang disabilitas. 2) Untuk mengetahui sikap pemerintah terhadap kegiatan para penyandang disabilitas. Hal ini penting meng
ingat penyandang disabilitas tergolong lebih rentan tehadap kemiskinan serta standar hidup lainnya seperti pendidikan, kesehatan, kesempatan kerja hingga sangat terkucil dan terbatas peluang mereka atas pendidikan dan pengembangan keterampilan termasuk pengembangan kemampuan dalam seni-budaya. Untuk diketahui, para penyandang cacat dilindungi melalui
UU No. 4/1997 tentang Penyandang Disabilitas dan PP No. 43/1998 tentang Upaya Meningkatkan Kesejahteraan Sosial Penyandang Disabilitas (1997/ 1998) serta diperkuat dengan UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia (1999). 3) Untuk memberikan ruang terbuka bagi para penyandang disabilitas untuk mengeksperiskan diri, melatih seni sehingga diharapkan mampu menambah ilmu dan pengalaman mereka serta berimbas pada pelatihan mental, keberaniaan dan kepercaya diri yang tinggi bahwa keterbatasan fisik itu bukan berarti membatasi segala aktifitas, ruang gerak dalam berbuat dan berkarya.
POLA GAGASAN
Kegiatan ini akan dilakukan bersama 7-10 orang penyandang disabilitas untuk mengenali dan kelas pelatihan teater. Pengenalan dan pelatihan akan dilakukan dengan sejumlah tahapan: 1) Perkenalan, baik dari penyandang disabilitas maupun dari tim pertunjukan. 2) Penggalian, saling mengenal secara personal dan emosional terkait kondisi yang terjadi untuk menumbuhkan rasa empati dan kepercayaan diri. Tak hanya itu, tahapan penggalian memudahkan sutradara dan tim teknis untuk mem-plot peran yang diberikan atau kerja artistik lainnya bila diperlukan. 3) Pembelajaran, pada tahapan ini secara perlahan namun kontinyu para penyandang disabilitas diberikan ilmu dan pengetahuan singkat mengenai teater dan berlatih bersama dengan para pemain non disabilitas dan tim produksi lainnya. 4) Penguatan, pada tahapan ini proses latihan semakin intens dengan memperhatikan serta mencatat hal-hal teknis dan non teknis yang diperlukan para penyandang disabilitas. 5) Penampilan, dilakukan pertunjukan terbuka dengan dihadiri masyarakat umum, pemerintah, seniman sebagai bentuk pertanggungjawaban proses. 6) Evaluasi, pada tahapan ini dilakukan perumusan apa-apa yang harus diperbaiki dikemudian hari dan berujung pada dilakukan secara rutin pentas teater maupun pentas seni lainnya bagi para penyandang disabilitas.(GUN)